Kamis, 03 November 2011

ANEMIA GIZI BESI


Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat kekurangan zat gizi diantaranya adalah anemia. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari nilai normal (Wahyuni 2004). Anemia di Indonesia biasanya disebabkan karena kekurangan zat besi sehingga sering disebut anemia zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia dapat menyerang segala kalangan, mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, lansia, ibu hamil sampai ibu menyusui. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007, berdasarkan acuan SK Menkes No.736a tahun 1989,  di Indonesia prevalensi anemia mencapai 14,8%. Dari 33 provinsi, 20 provinsi memiliki angka prevalensi anemia lebih besar. Prevalensi anemia di perkotaan menurut Riskesdas paling tinggi terjadi pada kelompok wanita  yaitu 19,7%, diikuti kelompok laki-laki dewasa 12,1%.  Pada anak-anak prevalensinya mencapai 9,8%. WHO Guidelines menyebutkan bila prevalensi anemia dalam suatu populasi lebih dari 15%, hal itu sudah merupakan masalah kesehatan nasional.
Jenis anemia pada hasil Riskesdas tersebut sebagian besar adalah anemia mikrositik hipokromik (60,2%). Anemia mikrositik-hipokromik umumnya karena kekurangan zat besi, selain itu karena penyakit kronis tingkat lanjut, atau keracunan timbal. Anemia akibat kekurangan zat besi kemudian dikenal dengan nama anemia gizi besi.
Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi antara lain disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kehilangan darah secara kronis, asupan zat besi tidak cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia gizi besi dapat menimbulkan berbagai dampak. Anemia pada balita dan anak dapat menyebabkan kegagalan perkembangan fisik dan kognitif, serta meningkatkan resiko morbiditas. Pada dewasa anemia dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas. Anemia juga berkontribusi terhadap 20% kematian maternal (WHO 2011). Selain itu, anemia menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh dan gangguan penyembuhan luka (Almatsier 2006).
Besarnya masalah anemia gizi besi menuntut adanya upaya penangulangan  agar masalah tersebut dapat diatasi. Konsultasi gizi dapat menjadi metode yang tepat dalam penanganan penyakit ini. Dengan konsultasi gizi diharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan gizi pada  sasaran secara efektif, untuk selanjutnya diharapkan tercapainya perubahan perilaku kesehatan.
Definisi Anemia Gizi besi
Anemia merupakan  suatu keadaan kadar hemoglobin  (Hb) di dalam darah yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal Hb seperti yang tercantum dalam SK Menkes RI No. 736a/Menkes/XI/1989, sebagai berikut.
Hb laki-laki dewasa : >13 g/dl
Hb perempuan dewasa : >12 g/dl
Hb anak-anak : >11 g/dl
Hb ibu hamil : >11 g/dl  
(Riskesdas 2007) 
Anemia gizi besi merupakan anemia yang disebabkan karena kurangnya supply zat besi di dalam sumsum tulang di mana sel darah merah  dibentuk. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya asupan zat besi dan bertambahnya kehilangan zat besi dari tubuh (Uthman 1998). Selain itu juga karena  bertambahnya kebutuhan dan berkurangnya penyerapan. Masing-masing penyebab tersebut dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1 Penyebab anemia gizi besi
 
Kebutuhan zat besi meningkat
Berkurangnya intake zat besi
Pertumbuhan pada bayi dan anak
Status sosial ekonomi yang rendah
Wanita yang sedang menstruasi
Vegetarian
Kehamilan
Diet tidak seimbang atau intake yang kurang
Menyusui
Alkoholism
Proses kelahiran
Usia lanjut

Etnik dengan resiko tinggi (Indo-canada)
Bertambahnya kehilangan zat besi
Berkurangnya penyerapan zat besi
Menstruasi
Pendarahan pada gastrointestinal
Donor darah secara teratur
Pasien dengan kehilangan darah secara signifikan
Hematuria
Parasit intestinal (berasal dari daerah endemik)
Hemoglobinuria
Olahraga fisik ekstrim (atlet ketahanan)
Patologi (anemia hemolitik)
Faktor diet (tannin, fitat dalam serat, kalsium dalam susu, the, kopi, minuman berkarbonasi)
Patologi saluran pencernaan atas:
-       Gastritis kronis
-       Gastric  Lymphoma
-       Celiac disease
-       Crohn’s disease
Pengobatan yang mengurangi keasaman lambung atau yang mengikat besi
Gastrektomi
Patologi duodenal
Pasien gagal ginjal kronis
Gejala dan Tanda
Gejala anemia diantaranya adalah lemas, letih, pusing, kurang nafsu makan, dan menurunnya kebugaran tubuh. Sedangkan tanda anemia adalah pucat pada  kulit, gusi, mata, dan kuku. Pada beberapa kasus yang berat terjadi  palpilasi  dan napas pendek (Ross 2000). Akan tetapi defisiensi zat besi pada balita tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi (Wahyuni 2004)  
Patofisiologi
Anemia gizi besi dimulai dengan deplesi hemosiderin, ferritin, dan penyimpanan zat besi lainnya yang terdapat dalam sumsum tulang, hepar, dan limpa. Selanjutnya terjadi pengangkutan zat besi yang berkurang dan  menyebabkan penurunan saturasi transferin zat besi. Pada tahap selanjutnya terjadi defisit transportasi besi yang khas yang menghambat produksi Hb normal. Protoporfirin eritrosit meningkat, dan reseptor transferin menjadi lebih  banyak sebagai respon terhadap  keadaan zat besi yang buruk (William & Wilkins 2001).
Menipisnya  simpanan zat besi seiring dengan bertambahnya absorbsi  zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi.  Habisnya simpanan besi menyebabkan berkurangnya produksi sel darah merah. Eritrosit mengecil dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998 diacu dalam Arumsari 2008).
Pengobatan, Perawatan  dan Pencegahan
Menurut WHO (2011), pencegahan  anemia dapat dilakukan dengan
1.    Meningkatkan asupan  zat besi, dengan cara diet kaya besi, meningkatkan absorpsi besi dan suplementasi zat besi.
2.    Mengontrol infeksi, dengan cara imunisasi dan mengontrol penyakit infeksi
3.    Meningkatkan status gizi, dengan cara mengontrol kekurangan zat gizi seperti vitamin B12, folat, dan vitamin A.
Pengobatan anemia dapat dilakukan dengan
1.    Diet kaya besi
2.    Suplemen besi oral
3.    Mengobati penyebab pendarahan abnormal jika diketahi
(Corwin 2008).
Suplementasi besi oral dapat  menyebabkan mual, muntah, dispesia, konstipasi, diare, dan feses menjadi gelap. Strategi untuk meminimalisasi efek tersebut adalah pemberian dosis dimulai dari yang terendah dan ditingkatkan secara bertahap sampai 4-5 hari.  Suplemen besi juga bisa dikonsumsi bersama makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia 2010).
Obat dan suplemen bisa mengurangi absorpsi besi dalam tubuh. Absorpsi besi dapat ditingkatkan dengan memberikan suplemen besi pada saat lambung kosong (sekitar 1,5-2 jam setelah makan) disertai dengan jus atau vitamin C, tanpa multivitamin, kalsium dan tablet antasid (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia 2010).
Anjuran Gizi
Kebutuhan zat besi berbeda pada berbagai kelompok umur. Kebutuhan zat besi orang Indonesia menurut angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi besi tahun 2004 bagi orang Indonesia
Kelompok  Umur
AKG Besi (mg)
Anak 
 0-6 bl
0,5
7-12 bl
7
1-3 th
8
4-6 th
9
7-9 th
10
Laki-laki
10-12 th
13
13-15 th
19
16-18 th
15
19+ th
13
Wanita
10-12 th
20
13-49 th
26
50+ th
12
Menyusui
+6
Selain dengan suplemen besi, penanganan anemia gizi besi dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan diet kaya besi. Diet ini dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan sumber zat besi. Cara ini cenderung tidak menimbulkan efek samping dibandingkan dengan suplementasi besi.
Zat besi dalam makanan dikelompokkan menjadi besi “heme” dan besi “non-heme”. Besi heme terdapat pada makanan yang berasal dari hewan, seperti daging merah, ikan, dan unggas, sedangkan besi non-heme terdapat pada makanan yang berasal dari tumbuhan, yaitu. buah dan sayuran. Besi heme diabsorpsi lebih tinggi (15-35%) dibandingkan dengan non-heme (2-5%). Hal tersebut karena dalam tumbuhan terdapat beberpa faktor yang dapat menghambat penyerapan besi, diantaranya dapat mengurangi keasaman lambung, infeksi Helicobacter pylory, tannin pada teh, polifenol (kopi, teh herbal, dan coklat), pitat (kacang-kacangan, gandum, beras) dan kalsium serta fopsfat (tablet antacid). Oleh karena itu sebaiknya konsumsi makanan dengan besi non heme disertai dengan makanan yang dapat meningkatkan absorpsi non heme seperti jus jeruk, dan sumber vitamin C lainnya. Selain itu dapat dilakukan juga dengan cara fortifikasi EDTA dalam makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia 2010).
Makanan sumber besi heme dan non-heme dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 3 Sumber besi heme
Jenis makanan (75 g)
Kandungan  besi (mg)
Kijing
21,0
*Hati ayam
8,7
Tiram
6,4
Remis
5,0
*Hati sapi
4,8
Daging sapi
2,4
Sardines
2,0
*hati sebaiknya tidak dikonsumsi oleh wanita hamil karena tingginya vitamin A yang dapat berbahaya bagi janin
Tabel 3 Sumber besi non-heme
Jenis makanan
Serving size
Kandungan besi (mg)
Biji Labu, dipanggang
60 ml (1/4 gelas)
8,6
Tahu, keras atau setengah keras
150 g (3/4 gelas)
2,4-8,0
Sereal bayi kering
28 g (10 sdt)
6-7
Tempe
50 g (1 potong)
5
Kacang merah, direbus
175 ml (3/4 gelas)
3.9
Sawi
100 g (1 ikat)
3,9
Bayam
50 g (I ikat)
2
Daun katuk
25 g (1 ikat)
1,35


DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. 2006. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta : Erlangga

Arumsari E. 2008. Faktor resiko anemia pada remaja putri peserta program pencegahan dan penanngulangan anemia gizi besi (PPAGB) di kota Bekasi [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Corwin EJ. 2008. Buku Saku Patofisiolog, Ed.3. Nike BS, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari : Handbook of Patophisiology 3rd Ed.

Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia.  2010. Iron Deficiency - Investigation and Management. http://www.bcguidelines.ca/pdf/iron_deficiency.pdf. [17 Sep 2011].

Gunatmaningsih D. 2007.. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di SMA Negeri 1  Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
    
Ross AJ. 2000.  Every Thing You Need to Know About Anemia. New York: The Rosen Publishing Group.

Uthman E. 1998. Understanding Anemia.  USA: University Press of Mississipi.
Wahyuni AS. 2004. Anemia defisien besi pada balita. http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-arlinda%20sari2.pdf.  [17 Sep 2011].

William L, Wilkins. 2001. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatric,E/3. Alfina H, penerjemah. Jakarta : EGC. Terjemahan dari: Lippincott’s Review Series: Pediatric Nursing.

[WHO] World Health Organization . 2011. Iron deficiency anaemia. http://www.who.int/nutrition/topics/ida/en/index.html. [17 Sep 2011].

Wirakusumah ES. 1998.  Perencanaan  Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta ; Trubus Agriwidya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar